PEMETAAN TERUMBU
KARANG MENGGUNAKAN CITRA ALOS DI PULAU KANGEAN KABUPATEN SUMENEP
Jurnal Pembanding :
MODEL ELEVASI DIGITAL UNTUK MENDETEKSI KERUSAKAN TERUMBU KARANG DI TAMAN WISATA ALAM LAUT KAPOPOSANG, SULAWESI SELATAN
Dosen pembimbing :
Yar Johan S.Pi., M.Si
Di Susun Oleh
:
Rukini & Idham Khalid
PROGRAM STUDI
ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016
ABSTRAK
Penelitian yang
dilakukan untuk memperoleh informasi sebaran dan luas terumbu karang di pulau
kangean. Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu algoritma lyzenga. Hasi
penelitian menunjukan luas wilayah kecamatan arjasa mencapai 30,529.5 ha dalam
11 pulau dengan luas terumbu karang mencapai 3,536.2 ha tersebar pada 12 desa.
Sedangkan kecamatan kangayan mencapai 20,569.5 ha dalam 27 pulau, dengan luas
terumbu karang mencapai 2,900.5 ha yang tersebar pada 9 desa.
Kata kunci : Terumbu karang,
ALOS, Lizenga.
PENDAHULUAN
Susie et. al.
(2000) menjelaskan bahwa terumbu karang adalah binatang-binatang kecil (disebut
POLIP) yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Terumbu karang merupakan
salah satu sumber daya alam yang
mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi fisik,
biologi maupun sosial ekonomi. Lauretta et. al, (2002) menjelaskan akibat meningkatnya kebutuhan hidup, sebagian
manusia telah mengintervensiekosistem tersebut. Kerusakan terumbu karang akibat
eksploitasi besar-besaran. Ancaman utama terumbu karang ialah penangkapan ikan
berlebihan, praktek penangkapan ikan yang merusak, sedimentasi serta pencemaran
yang berasal dari daratan. Aktivitas manusia saat ini
diperkirakan mengancam 88%
terumbu karang Asia Tenggara, mengancam nilai biologi dan ekonomi yang amat
penting bagi masyarakat. Sekitar 50% dari terumbu karang yang terancam
tersebut, berada pada tingkat keterancaman yang tinggi atau sangat tinggi.
Hanya 12% di antaranya berada pada tingkat ancaman yang rendah.
Seiring dengan terus
berkembangnya penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan yang dilakukan oleh
sebagian manusia yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang mengalami
pengembangan, sehingga diperlukan pemetaan wilayah ini secara kontinyu. Metode
konvensional seperti pengukuran langsung dilapangan (survei terestris) tidak
bisa mencakup daerah yang luas dan juga membutuhkan lebih banyak waktu. Dengan
perkembangan teknologi informasikebutuhan akan data dan informasi yang cepat
dan akurat serta mencakup wilayah yang cukup luas menjadi sangat penting.
Teknologi penginderaan jauh (data spatial berbasis citra satelit) menjadi
alternatif yang dapat mendukung penyediaan kebutuhan data spasial.
Tujuan penelitian adalah
memperoleh informasi sebaran dan luas terumbu karang di wilayah Pulau Kangean
Kabupaten Sumenep.
METODE
PENELITIAN
1.
Citra satelit Alos
2.
Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1
: 25.000.
Tahap pelaksanaan yang dilakukan
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.
Pra prosesing citra satelit. Pada
tahapan ini terdiri dari dua tahapan : koreksi radiometri dan koreksi geometri.
Koreksi radiometri bertujuan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan
sekaligus memperbaiki nilai-nilai pixel yang tidak sesuai. Koreksi geometri
bertujuan untuk meletakkan posisi obyek di citra sesuai dengan posisi
sebenarnya di lapangan. Koreksi geometri dilakukan dengan metode image to map,
dengan peta RBI sebagai base map. RMS errordalam koreksi harus mendapatkan
nilai dibawah 0,5. Hasil pada proses awal ini adalah citra yang telah
terkoreksi.
2.
Pemotongan citra sesuai dengan
wilayah penelitian. Pemotongan citra bertujuan untuk membatasi area penelitian
yang dikaji (dalam penelitian ini pulau Madura)
3.
Identifikasi terumbu karang
dengan menggunakan algoritma Lyzenga, dimana yang digunkan adalah band biru dan
band merah yang dalam data Landsat adalah band 1 dan band 2 dan 3. algoritma
Lyzenga digunakan untuk mengkoreksi kolom air (Budhiman dan Hasyim, 2005).
Bentuk persamaan metode Lyzenga adalah:
Prosedur metode Lyzenga adalah
sebagai berikut :
1.
Pembuatan training site i pada
saluran 1,2 dan 3, training site disini bukan untuk klasifikasi tetapi untuk
menentukan ki/kj. Syaratnya obyek training site haruslah homogen tetapi berbeda
kedalaman.
2.
Menghitung parameter ki/kj dengan
persamaan :
Pada tahap ini dilakukan perhitungan training site dari band 1, 2 dan 3;
menghitung varian B1, B2 dan B3; dan covarian (B1,B2), (B2,B3) dan (B1,B3).
3.
Melakukan klasifikasi terumbu
karang denga klasifikasi unsupervise.
Pada metode penelitian jurnal ini masi terdapat kekurangan informasi
yang mana tidak dicantumkannya lokasi dan waktu penelitian sehingga sulit untuk mengetahui informasi wilayah yang
di teliti, dan masi kurangnya analisis tahap lanjut sehingga hasil peta member informasi sederhana.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian“Model Elevasi Digital
Untuk Mendeteksi Kerusakan Terumbu Karang Di Taman Wisata Alam Laut Kapoposang, Sulawesi
Selatan” dengan memanfaatkan Citra Satelit SPOT5 resolusi 10 meter dan data kedalaman perairan. Citra SPOT 5 dengan resolusi 10x10m2 untuk wilayah TWAL Kapoposang dapat digunakan untuk mengkelaskan obyek dasar menjadi 5 penutup dasar masing-masing karang hidup, pecahan karang, karang mati, lamun, dan pasir.
Pada metodologi
di jelaskan lokasi dan waktu penelitian sehingga jelas gambaran informasi
penelitian, namun di jurnal ini masi terdapat kekurangan yaitu tidak adanya
keterangan informasi alat dan bahan yang digunakan.
Prosedur penelitian dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: (1)
pengumpulan data sekunder, baik data citra satelit, data
komplementer dan literature yang relevan dengan topic penelitian;(2)
Survey awal meliputi kegiatan pengenalan medan
(orientasi lapang) untuk dijadikan referensi pengambilan data latih (training sample); (3) Analisis citra satelit, meliputi koreksi geometric, cropping, identifikasi obyek dasar perairan dangkal (ODPD). Koreksi geometric dilaksanakan untuk memperbaiki citra yang mengalami distorsi selama
proses transfer data dari satelit ke stasiun penerima di bumi kearah gambaran yang lebih sesuai dengan keadaaan aslinya (Jensen, 1996). Identifikasi ODPD dimulai dengan penyusunan algoritma RGB 321.
SCC (Specific Color Composite) dan Lyzenga (Lyzenga, 1981, Faizal, 2006). Selanjutnya klasifikasi citra satelit yang digunakan dengan metode klasifikasi Un- Supervised (klasifikasi tidak beracuan) dengan membedakan kenampakan visual obyek berdasarkan perbedaan rona yang dihasilkan dari composit citra; (4) Cek Lapangan untuk mencocokkaan hasil pengamatan hasil analisis citra satelit dengan kondisi lapangan. Metode penentuan sampling
berdasarkan kenampakan citra satelit dengan menggunakan metode LIT (Line Intercep Transect) sepanjang 50 meter dan khusus untuk penilaian karang yang tertutupi oleh alga AA(alga assembled) maka persentase penutupan di hitung, jika persentase tutupan alga lebih besar atau sama dengan karang maka obyek tersebut dikategorikan sebagai alga. ,setiap lokasi sampling akan dicatat posisinya dengan menggunakan GPS (English,1997); (5) Pengukuran Kedalaman,
dengan echosounder,
model pengukuran yang
digunakan dengan metode fix perum,
sejajar dengan garis pantai,
pada saat yang
sama dilakukan pengukuran pasang surut; dan (6) Pengukuran Pasang Surut, Pengamatannya dilakukan dengan pem-
bacaan secara langsung dan dicatat secara kontinyu setiap 1 jam mulai pukul 00.00 sampai pukul 23.00 selama 15 hari
(piantan) pengamatan.
Selanjutnya dilakukan Analisa
data dilakukan beberapa tahap sebagai berikut; (1) Analisis data terumbu karang, didasarkan pada prosentase tutupan karang hidup (HardCoral(HC)) dan kompenen hidup lainnya serta karang mati (English et al., 1997); (2)
Analisis data pasang surut, dengan menggunakan Metode Admiralty
(Djaja, 1989 dalam Ongkosongo dan Suyarso 1989); (3) Analisis data kedalaman, dengan interpolasi menggunakan
metode krigging. Namun sebelumnya dikoreksikan dengan data Mean Sea Level (MSL) (4) Analisis spasial untuk mengaitkan antara data kedalaman dengan ODPD dengan system referensi WGS84. Dari data ini di dapatkan keterkaitan antara kedalaman dengan ODPD. Penilaian data ini dikelaskan antara0-10 meter,
dan10-20
meter.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Kondisi Terumbu Karang di Kabupaten Sumenep
Kabupaten Sumenep bagian daratan terdiri dari beberapa kecamatan, tetapi
tidak semua kecamatan memiliki terumbu karang. Kecamatan yang memiliki terumbu
karang adalah Kecamatan Ambunten, Arjasa, Batang Batang, Batuputih, Bluto,
Dasuk, Dungkek, Gapura, Gayam, Giligenteng, Kalianget, Masalembu, Nonggunong,
Pasongsongan, Raas, Sapeken, Saronggi, Talango. Data ini didapatkan dari hasil
ekstraksi citra satelit Alos tahun 2009. Kondisi terumbu karang tiap kecamatan
bervariasi dari kondisi baik sampai buruk. Sedangkan untuk pulau Kangean
terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Arjasa dan Kangayan. Hasil ekstraksi citra luas
terumbu karang untuk kecamatan arjasa adalah 3.536 ha, sedangkan kecamatan
Kangayan mencapai 2.900 ha. Sebaran terumbu karang di Kabupaten Sumenep
didapatkan dari ekstraksi citra satelit ALOS. Ekstraksi citra satelit yang
dilakukan untuk mendapatkan sebaran terumbu karang menggunakan metode Lyzenga.
Hasil ekstraksi ini kemudian dilakukan klasifikasi unsuperviseduntuk membedakan
antara terumbu karang dan yang bukan terumbu karang. Untuk mendapatkan luas
pada masing-masing desa pada setiap pulau dilakukan analisis lebih lanjut
dengan melakukan overlaydengan administrasi.
Kecamatan Arjasa
Total luas Kecamatana Arjasa mencapai 30,529.5 ha. Pulau paling besar adalah
pulau kangean 29.840 ha untuk wilayah Kecamatan Arjasa, karena pulau Kangean
ini terpisah menjadi 2 kecamatan (lihat tabel 1).
Tabel 1. Pulau
yang ada di Kecamatan Arjasa.
Sumber
: Hasil ekstraksi citra satelit Alos
Luas terumbu karang hasil ekstraksi citra ALOS mencapai 3,536.2 ha yang
tersebar pada 12 desa. Desa yang mempunyai terumbu karang terluas ada pada desa
Kolokolo (535,2 ha) (lihat tabel 2).
Tabel 2. Luas terumbu karang pada masing-masing desa pada setiap pulau di
Kecamatan Arjasa Kabupaten sumenep.
Sumber : Hasil ekstraksi citra satelit Alos
Kecamatan
Kangayan
Luas masing
masing pulau ada pada tabel 3. Total luas Kecamatana Arjasa mencapai
20,562.5ha. Wilayah paling luas pada kecamatan ini di pulau kangean 17.202 ha.
Tabel 3. Pulau
yang ada di kecamatan Kangayan.
Sumber : Hasil ekstraksi citra satelit Alos.
Luas terumbu karang hasil ekstraksi citra ALOS mencapai 2,900.5 ha yang
tersebar pada 9 desa. Desa yang mempunyai terumbu karang terluas ada pada Desa
Saobi (657,6 ha) yang tersebar di 4 pulau, yaitu Bunginyamar, Karenteng, Saobi,
Sepapan (lihat tabel 4).
Tabel 4. Luas terumbu karang pada masing-masing desa pada setiap pulau di
Kecamatan Kangayan Kabupaten sumenep.
Sumber
: Hasil ekstraksi citra satelit Alos
ETA TUTUPAN
TERUMBU KARANG DI PULAU KANGEAN WILAYAH KABUPATEN SUMENEP
Gambar 1. Peta Terumbu Karang
di Pulau Kangean hasil ekstraksi citra ALOS.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian “Model
Elevasi Digital Untuk Mendeteksi Kerusakan Terumbu Karang Di Taman Wisata Alam Laut Kapoposang, Sulawesi
Selatan” dengan memanfaatkan Citra Satelit SPOT 5 resolusi 10 meter dan data ke dalaman perairan. Mampu menjelaskan persentase
penutupan dasar perairan berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 5 yakni luas
penutupan dasar karang hidup, pecahan karang, karang mati, lamun, dan pasir
(lihat gambar 2).
Gambar 2. a) Citra SPOT 5 Hasil
Koreksi Geometrik, b). Citra hasil Penerapan Alogaritma c). Citra hasil
Klasifikasi
Gambar 3. Peta
Batimetri/Kedalaman perairan TWAL Kapoposang
TWAL Kapoposang
Gambar 4. Peta Kedalaman versus kondisi terumbu karang di
TWAL Kapoposang
Jumlah stratifikasi kedalaman sebannyak empat dan jenis kondisi ada tiga. Tingkat kerusakan karang terbesar berada pada kedalaman 0 -2,5 meter, untuk pecahan karang terbayak ditemukan pada kedalaman 2,5–5 meter, sedangkan terumbu karang hidup persentase terbesar beradapada kedalaman 10-20
meter. Hal ini beralasan karena rata-rata aktifitas di perairan berada perairan dangkal. Analisis data pada penelitian ini dibatasi pada kedalaman maksimal 20 meter dengan asumsi bahwa:
1. Kemampuan penyadapan citra satelit untuk obyek yang berada di bawah permukaan air, rata-rata maksimal 20 meter
2. Penetrasi cahaya pada perairan yang jernih optimal pada kedalaman 20 meter
3. Kemungkinan untuk pelaksanaan rehabilitasi hanya bias dilakukan pada kedalaman 2.5–20 meter, baik dalam segi teknis maupun keberlangsungan.
Rehabilitasi terumbu karang adalah suatu aktivitas perbaikan kondisi terumbu karang di dalam ekosistemnya. Rehabilitasi lebih dititik beratkan pada perbaikan persentutupan terumbu karang. Selama ini rehabilitasi telah di laksanakan pada beberapa lokasi dengan system tranplantasi dengan menggunakan meja transplantasi pada lokasi yang dianggap kurang mempunyai persentutupan yang bagus dan sekaligus untuk kepentingan bisnis (karang hias).Tingkat keberhasilan transplantasi yang ada belum maksimal (DKP,2007).
KESIMPULAN
1.
Jurnal utama mampu memberi
informasi mengenai jumlah pulau yang ada di Kecamatan Arjasa ada 11 pulau,
dengan luas wilayah mencapai 30,529.5 ha. Luas terumbu karang mencapai 3,536.2
ha yang tersebar pada 12 desa. Jumlah pulau yang ada di Kecamatan Kangayan ada
27 pulau, dengan luas wilayah mencapai 20,562.5ha. Luas terumbu mencapai
2,900.5 ha yang tersebar pada 9 desa.
2.
Dibandingkan dengan jurnal
pembanding yang menggunakan Citra SPOT5 dengan resolusi 10x10 m2 untuk wilayah TWAL Kapoposang dapat digunakan untu kmengkelaskan obyek dasar menjadi 5 penutup dasar masing-masing karang hidup, pecahan karang, karang mati lamun, dan pasir. Berdasarkan analisis data satelit, kondisi terumbu karang di TWAL Kapoposang telah mengalami kerusakan berat dengan persen penutupan hanya sebesar 25–40% dimana tingkat kerusakan terumbu karang sebagai besar berada di kedalaman 0-10
meter. Penelitian jurnal ini berhasil mengidentifikasi kedalaman dan tingkat kerusakan terumbu karang secara spasial sehingga dapat lebih mudah dilakukan pelaksanaan konservasi di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
DKP. 2007. Rencana
Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Sulawesi
Selatan. RCU-Coremap II. Sulsel.
Makassar
English, S., C. Wilkinson,
dan V. Baker. 1997. Survey Manual for
Tropical
Marine Resource. ASEAN-Australia
Marine Sceince Project: Living
Coastal Resources.
Faizal,
A. 2006. Model Elevansi Digital
Perairan Dangkal
untuk Pemetaan Tiga
Dimensi Habitat Ekosistem Lamun
di Tanjung Bira, Sulawesi
Selatan.
Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian, Unibersitas
Hasanuddin. Makassar.
Jensen, J.R. 1996.
Introductory Digital Image Processing A Romete Sensing Prespective.
Second
Edition.,
Prentice
Hall,
New Jersey.
Lauretta Burke,
Elizabeth Selig, Mark Spalding. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia
Tenggara. World Resources Institute dengan United Nations Environment
Program-World Conservation Monitoring Centre, World Fish Center, dan
International Coral Reef Action Network.
Lyzenga, D.R. 1981. Romete Sensing of Bottom Reflectance and
Water
Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsar Data.
International Journal Remote
sensing. Volume 2 No. 1 71-72.
Ongkosongo, O.S.R. dan Suyarsono.
1989. Pasang Surut. LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanografi,
Jakarta.
Susie
Westmacott, Kristian Teleki, Sue Wells dan Jordan West. 2000. Pengelolaan
Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN – Badan Konservasi
Dunia / The World Conservation Union.