Minggu, 12 Juni 2016

Review Jurnal SIG




REVIEW JURNAL
 PEMETAAN TERUMBU KARANG MENGGUNAKAN CITRA ALOS DI PULAU KANGEAN KABUPATEN SUMENEP
Jurnal Pembanding :
MODEL ELEVASI DIGITAL UNTUK MENDETEKSI KERUSAKAN TERUMBU KARANG DI TAMAN WISATA ALAM LAUT KAPOPOSANG, SULAWESI SELATAN




Dosen pembimbing :
Yar Johan S.Pi., M.Si

Di Susun Oleh :
                                            Rukini & Idham Khalid
      


PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016


ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan untuk memperoleh informasi sebaran dan luas terumbu karang di pulau kangean. Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu algoritma lyzenga. Hasi penelitian menunjukan luas wilayah kecamatan arjasa mencapai 30,529.5 ha dalam 11 pulau dengan luas terumbu karang mencapai 3,536.2 ha tersebar pada 12 desa. Sedangkan kecamatan kangayan mencapai 20,569.5 ha dalam 27 pulau, dengan luas terumbu karang mencapai 2,900.5 ha yang tersebar pada 9 desa.
Kata kunci : Terumbu karang, ALOS, Lizenga.
PENDAHULUAN
Susie et. al. (2000) menjelaskan bahwa terumbu karang adalah binatang-binatang kecil (disebut POLIP) yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya alam yang  mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi fisik, biologi maupun sosial ekonomi. Lauretta et. al, (2002) menjelaskan  akibat meningkatnya kebutuhan hidup, sebagian manusia telah mengintervensiekosistem tersebut. Kerusakan terumbu karang akibat eksploitasi besar-besaran. Ancaman utama terumbu karang ialah penangkapan ikan berlebihan, praktek penangkapan ikan yang merusak, sedimentasi serta pencemaran yang berasal dari daratan. Aktivitas manusia saat ini
diperkirakan mengancam 88% terumbu karang Asia Tenggara, mengancam nilai biologi dan ekonomi yang amat penting bagi masyarakat. Sekitar 50% dari terumbu karang yang terancam tersebut, berada pada tingkat keterancaman yang tinggi atau sangat tinggi. Hanya 12% di antaranya berada pada tingkat ancaman yang rendah.
            Seiring dengan terus berkembangnya penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan yang dilakukan oleh sebagian manusia yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang mengalami pengembangan, sehingga diperlukan pemetaan wilayah ini secara kontinyu. Metode konvensional seperti pengukuran langsung dilapangan (survei terestris) tidak bisa mencakup daerah yang luas dan juga membutuhkan lebih banyak waktu. Dengan perkembangan teknologi informasikebutuhan akan data dan informasi yang cepat dan akurat serta mencakup wilayah yang cukup luas menjadi sangat penting. Teknologi penginderaan jauh (data spatial berbasis citra satelit) menjadi alternatif yang dapat mendukung penyediaan kebutuhan data spasial.
Tujuan penelitian adalah memperoleh informasi sebaran dan luas terumbu karang di wilayah Pulau Kangean Kabupaten Sumenep.

METODE PENELITIAN
Alat yang dipergunakan :
1.       Citra satelit Alos
2.       Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000. 
Tahap pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.      Pra prosesing citra satelit. Pada tahapan ini terdiri dari dua tahapan : koreksi radiometri dan koreksi geometri. Koreksi radiometri bertujuan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai pixel yang tidak sesuai. Koreksi geometri bertujuan untuk meletakkan posisi obyek di citra sesuai dengan posisi sebenarnya di lapangan. Koreksi geometri dilakukan dengan metode image to map, dengan peta RBI sebagai base map. RMS errordalam koreksi harus mendapatkan nilai dibawah 0,5. Hasil pada proses awal ini adalah citra yang telah terkoreksi.
2.      Pemotongan citra sesuai dengan wilayah penelitian. Pemotongan citra bertujuan untuk membatasi area penelitian yang dikaji (dalam penelitian ini pulau Madura)
3.      Identifikasi terumbu karang dengan menggunakan algoritma Lyzenga, dimana yang digunkan adalah band biru dan band merah yang dalam data Landsat adalah band 1 dan band 2 dan 3. algoritma Lyzenga digunakan untuk mengkoreksi kolom air (Budhiman dan Hasyim, 2005). Bentuk persamaan metode Lyzenga adalah:



Prosedur metode Lyzenga adalah sebagai berikut :
1.      Pembuatan training site i pada saluran 1,2 dan 3, training site disini bukan untuk klasifikasi tetapi untuk menentukan ki/kj. Syaratnya obyek training site haruslah homogen tetapi berbeda kedalaman.
2.      Menghitung parameter ki/kj dengan persamaan : 
Pada tahap ini dilakukan perhitungan training site dari band 1, 2 dan 3; menghitung varian B1, B2 dan B3; dan covarian (B1,B2), (B2,B3) dan (B1,B3).
3.      Melakukan klasifikasi terumbu karang denga klasifikasi unsupervise.
Pada metode penelitian jurnal ini masi terdapat kekurangan informasi yang mana tidak dicantumkannya lokasi dan waktu penelitian sehingga sulit untuk mengetahui informasi wilayah yang di teliti, dan masi kurangnya analisis tahap lanjut sehingga hasil peta member informasi sederhana.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitianModel Elevasi Digital Untuk Mendeteksi Kerusakan Terumbu Karang Di Taman Wisata Alam Laut Kapoposang, Sulawesi Selatandengan memanfaatkan Citra Satelit SPOT5 resolusi 10 meter dan data kedalaman perairan. Citra SPOT 5 dengan resolusi 10x10m2 untuk wilayah TWAL Kapoposang dapat digunakan untuk mengkelaskan obyek dasar menjadi 5 penutup dasar masing-masing karang hidup, pecahan karang, karang mati, lamun, dan pasir.
Pada metodologi di jelaskan lokasi dan waktu penelitian sehingga jelas gambaran informasi penelitian, namun di jurnal ini masi terdapat kekurangan yaitu tidak adanya keterangan informasi alat dan bahan yang digunakan.
Prosedur penelitian dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: (1) pengumpulan data sekunder, baik data citra satelit,  data  komplementer dan literature yang relevan dengan topic penelitian;(2) Survey awal meliputi kegiatan pengenalan medan (orientasi lapang) untuk dijadikan referensi pengambilan data latih (training sample); (3) Analisis citra satelit, meliputi koreksi geometric, cropping, identifikasi obyek dasar perairan dangkal (ODPD). Koreksi geometric dilaksanakan untuk memperbaiki citra yang mengalami distorsi selama proses transfer data dari satelit ke stasiun penerima di bumi kearah gambaran yang lebih sesuai dengan keadaaan aslinya (Jensen, 1996). Identifikasi ODPD dimulai dengan penyusunan algoritma RGB  321.
SCC (Specific  Color Composite)  dan Lyzenga (Lyzenga, 1981, Faizal, 2006). Selanjutnya klasifikasi citra satelit yang digunakan dengan metode klasifikasi Un- Supervised  (klasifikasi tidak beracuan) dengan membedakan kenampakan visual obyek berdasarkan perbedaan rona yang dihasilkan dari composit citra; (4) Cek Lapangan untuk mencocokkaan hasil pengamatan hasil analisis citra satelit dengan kondisi lapangan. Metode penentuan sampling berdasarkan kenampakan citra satelit dengan menggunakan metode LIT (Line Intercep Transect) sepanjang 50 meter dan khusus untuk penilaian karang yang tertutupi oleh alga AA(alga assembled) maka persentase penutupan di hitung, jika persentase tutupan alga lebih besar atau sama dengan karang maka obyek tersebut dikategorikan sebagai alga.   ,setiap lokasi sampling akan dicatat posisinya dengan menggunakan GPS (English,1997); (5) Pengukuran Kedalaman, dengan echosounder,   model  pengukuran yang digunakan dengan metode fix perum, sejajar dengan garis pantai, pada saat yang sama dilakukan pengukuran pasang surut; dan (6) Pengukuran Pasang Surut, Pengamatannya dilakukan dengan pem- bacaan secara langsung dan dicatat secara kontinyu setiap 1 jam mulai pukul 00.00 sampai pukul 23.00 selama 15 hari (piantan) pengamatan.
Selanjutnya dilakukan Analisa data dilakukan beberapa tahap sebagai berikut; (1) Analisis data terumbu karang, didasarkan pada prosentase tutupan karang hidup (HardCoral(HC)) dan kompenen hidup lainnya serta karang mati (English et  al.,  1997); (2)  Analisis data pasang surut, dengan menggunakan Metode Admiralty (Djaja, 1989 dalam Ongkosongo dan Suyarso 1989); (3) Analisis data kedalaman, dengan interpolasi menggunakan metode krigging. Namun sebelumnya dikoreksikan dengan data Mean Sea Level (MSL) (4) Analisis spasial untuk mengaitkan antara data   kedalaman dengan ODPD   dengan system referensi WGS84. Dari data ini di dapatkan keterkaitan antara kedalaman dengan ODPD. Penilaian data ini dikelaskan antara0-10 meter, dan10-20 meter.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Terumbu Karang di Kabupaten Sumenep
Kabupaten Sumenep bagian daratan terdiri dari beberapa kecamatan, tetapi tidak semua kecamatan memiliki terumbu karang. Kecamatan yang memiliki terumbu karang adalah Kecamatan Ambunten, Arjasa, Batang Batang, Batuputih, Bluto, Dasuk, Dungkek, Gapura, Gayam, Giligenteng, Kalianget, Masalembu, Nonggunong, Pasongsongan, Raas, Sapeken, Saronggi, Talango. Data ini didapatkan dari hasil ekstraksi citra satelit Alos tahun 2009. Kondisi terumbu karang tiap kecamatan bervariasi dari kondisi baik sampai buruk. Sedangkan untuk pulau Kangean terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Arjasa dan Kangayan. Hasil ekstraksi citra luas terumbu karang untuk kecamatan arjasa adalah 3.536 ha, sedangkan kecamatan Kangayan mencapai 2.900 ha. Sebaran terumbu karang di Kabupaten Sumenep didapatkan dari ekstraksi citra satelit ALOS. Ekstraksi citra satelit yang dilakukan untuk mendapatkan sebaran terumbu karang menggunakan metode Lyzenga. Hasil ekstraksi ini kemudian dilakukan klasifikasi unsuperviseduntuk membedakan antara terumbu karang dan yang bukan terumbu karang. Untuk mendapatkan luas pada masing-masing desa pada setiap pulau dilakukan analisis lebih lanjut dengan melakukan overlaydengan administrasi.
Kecamatan Arjasa
Total luas Kecamatana Arjasa mencapai 30,529.5 ha. Pulau paling besar adalah pulau kangean 29.840 ha untuk wilayah Kecamatan Arjasa, karena pulau Kangean ini terpisah menjadi 2 kecamatan (lihat tabel 1).
Tabel 1. Pulau yang ada di Kecamatan Arjasa.

Sumber : Hasil ekstraksi citra satelit Alos
Luas terumbu karang hasil ekstraksi citra ALOS mencapai 3,536.2 ha yang tersebar pada 12 desa. Desa yang mempunyai terumbu karang terluas ada pada desa Kolokolo (535,2 ha) (lihat tabel 2).
Tabel 2. Luas terumbu karang pada masing-masing desa pada setiap pulau di Kecamatan Arjasa Kabupaten sumenep.


Sumber : Hasil ekstraksi citra satelit Alos
Kecamatan Kangayan
Luas masing masing pulau ada pada tabel 3. Total luas Kecamatana Arjasa mencapai 20,562.5ha. Wilayah paling luas pada kecamatan ini di pulau kangean 17.202 ha.
Tabel 3. Pulau yang ada di kecamatan Kangayan.




Sumber : Hasil ekstraksi citra satelit Alos.
Luas terumbu karang hasil ekstraksi citra ALOS mencapai 2,900.5 ha yang tersebar pada 9 desa. Desa yang mempunyai terumbu karang terluas ada pada Desa Saobi (657,6 ha) yang tersebar di 4 pulau, yaitu Bunginyamar, Karenteng, Saobi, Sepapan (lihat tabel 4).
Tabel 4. Luas terumbu karang pada masing-masing desa pada setiap pulau di Kecamatan Kangayan Kabupaten sumenep.


Sumber : Hasil ekstraksi citra satelit Alos

ETA TUTUPAN TERUMBU KARANG DI PULAU KANGEAN WILAYAH KABUPATEN SUMENEP



Gambar 1. Peta Terumbu Karang di Pulau Kangean hasil ekstraksi citra ALOS.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Model Elevasi Digital Untuk Mendeteksi Kerusakan Terumbu Karang Di Taman Wisata Alam Laut Kapoposang, Sulawesi Selatandengan memanfaatkan Citra Satelit SPOT 5 resolusi 10 meter dan data ke dalaman perairan. Mampu menjelaskan persentase penutupan dasar perairan berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 5 yakni luas penutupan dasar karang hidup, pecahan karang, karang mati, lamun, dan pasir (lihat gambar 2).


                 

Gambar 2. a) Citra SPOT 5 Hasil Koreksi Geometrik, b). Citra hasil Penerapan Alogaritma c). Citra hasil Klasifikasi





Gambar 3. Peta Batimetri/Kedalaman perairan TWAL Kapoposang TWAL Kapoposang



Gambar 4. Peta Kedalaman versus kondisi terumbu karang di TWAL Kapoposang
Jumlah stratifikasi kedalaman sebannyak empat dan jenis kondisi ada tiga. Tingkat kerusakan karang terbesar berada pada kedalaman 0 -2,5 meter,   untuk pecahan karang terbayak ditemukan pada kedalaman 2,5–5 meter, sedangkan terumbu karang hidup persentase terbesar beradapada kedalaman 10-20 meter. Hal ini beralasan karena rata-rata aktifitas di perairan berada perairan dangkal. Analisis data pada penelitian ini dibatasi pada kedalaman maksimal 20 meter dengan asumsi bahwa:
1. Kemampuan penyadapan citra satelit untuk obyek yang berada di bawah permukaan air, rata-rata maksimal 20 meter
2. Penetrasi cahaya pada perairan yang jernih optimal pada kedalaman 20 meter
3. Kemungkinan untuk pelaksanaan rehabilitasi hanya bias dilakukan pada kedalaman 2.5–20 meter, baik dalam segi teknis maupun keberlangsungan.
Rehabilitasi terumbu karang adalah suatu aktivitas perbaikan kondisi terumbu karang di dalam ekosistemnya. Rehabilitasi lebih dititik beratkan pada perbaikan persentutupan terumbu karang. Selama ini rehabilitasi telah di laksanakan pada beberapa lokasi dengan system tranplantasi dengan menggunakan meja transplantasi pada lokasi yang dianggap kurang mempunyai persentutupan yang bagus dan sekaligus untuk kepentingan bisnis (karang hias).Tingkat keberhasilan transplantasi  yang ada belum maksimal (DKP,2007).

KESIMPULAN
1.      Jurnal utama mampu memberi informasi mengenai jumlah pulau yang ada di Kecamatan Arjasa ada 11 pulau, dengan luas wilayah mencapai 30,529.5 ha. Luas terumbu karang mencapai 3,536.2 ha yang tersebar pada 12 desa. Jumlah pulau yang ada di Kecamatan Kangayan ada 27 pulau, dengan luas wilayah mencapai 20,562.5ha. Luas terumbu mencapai 2,900.5 ha yang tersebar pada 9 desa.
2.      Dibandingkan dengan jurnal pembanding yang menggunakan Citra SPOT5 dengan resolusi 10x10 m2 untuk wilayah TWAL Kapoposang dapat digunakan untu kmengkelaskan obyek dasar menjadi 5 penutup dasar masing-masing karang hidup, pecahan karang, karang mati lamun, dan pasir. Berdasarkan analisis data satelit, kondisi terumbu karang di TWAL Kapoposang telah mengalami kerusakan berat dengan persen penutupan hanya sebesar 25–40% dimana tingkat kerusakan terumbu karang sebagai besar berada di kedalaman 0-10 meter. Penelitian jurnal ini berhasil mengidentifikasi kedalaman dan tingkat kerusakan terumbu karang secara spasial sehingga dapat lebih mudah  dilakukan pelaksanaan konservasi di kemudian hari.


DAFTAR PUSTAKA
DKP. 2007.  Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu  Karang Sulawesi  Selatan. RCU-Coremap II.  Sulsel. Makassar

English,  S.,  C.  Wilkinson,  dan  V.  Baker. 1997.   Survey   Manual   for   Tropical Marine Resource. ASEAN-Australia Marine Sceince Project: Living Coastal Resources.

Faizal, A. 2006. Model Elevansi Digital Perairan Dangkal untuk Pemetaan Tiga Dimensi Habitat Ekosistem Lamun di Tanjung  Bira,  Sulawesi  Selatan. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian, Unibersitas Hasanuddin. Makassar.

Jensen,   J.R.   1996.   Introductory   Digital Image Processing A Romete Sensing Prespective. Second Edition., Prentice Hall, New Jersey.

Lauretta Burke, Elizabeth Selig, Mark Spalding. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara. World Resources Institute dengan United Nations Environment Program-World Conservation Monitoring Centre, World Fish Center, dan International Coral Reef Action Network.
Lyzenga, D.R. 1981. Romete Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation  Parameters  in  Shallow Water Using Aircraft and Landsar Data. International Journal Remote sensing. Volume 2 No. 1 71-72.
Ongkosongo,  O.S.R. dan Suyarsono. 1989. Pasang Surut. LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Jakarta.
Susie Westmacott, Kristian Teleki, Sue Wells dan Jordan West. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN – Badan Konservasi Dunia / The World Conservation Union.